Masjid Raya Medan

Masjid Raya Al Mashun atau lebih populer dengan nama Masjid Raya Medan adalah sebuah masjid bersejarah di Kota Medan, sekaligus menjadi ikon kota tersebut. Awalnya, Masjid Raya Al Mashun menjadi bagian dari komplek Istana Maimun, dan memang dahulu menyatu dengan kompleks istana. Selain sebagai tempat ibadah dan penyebaran Agama Islam, Masjid Raya Medan juga menjadi tempat wisata menarik untuk dikunjungi.






Selain usianya sudah tua, lebih dari 100 tahun, desain dan arsitektur bangunannya cukup menarik, merupakan perpaduan antara gaya Timur Tengah, India, dan Spanyol. Tak mengherankan jika Masjid Raya Medan mampu menghadirkan kemegahan luar biasa, bahkan konon pembangunan masjid memang sengaja dirancang dengan kemegahan luar biasa agar tidak kalah dibanding kemegahan bangunan Istana Maimun. Keberadaan Masjid Raya Al Mashun juga menjadi saksi sejarah keperkasaan Etnis Melayu pada masa kejayaan Kesultanan Deli (sekarang Kota Medan)

Masjid Raya Medan dibangun oleh Sultan Kesultanan Deli, pada masa kepemimpinan Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam, tanggal 21 Agustus 1906. Proses pembangunan tersebut memakan waktu hingga tiga tahun, dan selesai pada tanggal 10 September 1909, ditandai dengan pelaksanaan Sholat Jum'at pertama di masjid ini.






Bentuk bangunannya cukup unik, sehingga menjadi pembeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Berbentuk segi delapan, dengan bangunan sayap pada bagian utara, timur, selatan, dan barat. Konon pembangunan Masjid Raya Al Mashun menghabiskan biaya hingga satu juta Gulden, untuk mengimbangi kemegahan Istana Maimun sendiri. Memang, Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam memiliki prinsip bahwa kemegahan masjid tersebut lebih utama dibanding kemegahan istana. Keseluruhan biaya pembangunan masjid ditanggung sendiri oleh Sultan, dan kontribusi dari Tjong A Fie, seorang etnis Tionghoa yang menjadi tokoh Kota Medan pada masa pemerintahannya.



Pada awalnya, pembangunan masjid dirancang oleh seorang arsitek ternama dari Belanda, Van Erp, namun dalam proses pembangunannya dilanjutkan oleh JA Tingdeman, karena Van Erp dipanggil ke Pulau Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur. Untuk mewujudkan kemegahan sesuai dengan rencananya, Sultan mengimpor beberapa material bangunan, seperti marmer dari Italia dan Jerman, kaca patri dari Cina, dan lampu gantung dari Perancis.






JA Tingdeman, memadukan gaya arsitektur Timur Tengah, Maroko, Eropa, dan Melayu, yang diekpresikan dalam bangunan segi delapan simetris. Bangunan tersebut menghasilkan ruang sangat unik, selain menjadi pembeda, juga menjadi ciri khas Masjid Raya Medan. Keempa penjuru dibangun beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, sehingga menyerupai sayap pada bangunan utamanya. Kecuali pada bagian mihrab, setiap beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga penghubung menuju bangunan utama berbentu persegi delapan. Posisi bangunan utama memang sengaja ditinggikan, sehingga dibutuhkan tangga untuk memasuki bangunan tersebut.